Ringkasan Novel Karangan Wildan Yatim berjudul Pergolakan
PERGOLAKAN
Pengarang : Wildan Yatim (11 Juni 1933)
Penerbit : Pustaka Jaya
Tahun : 1974
Ketika pertama kali
menginjakan kakinya di Gunung Beringin, Abdul Salam sudah mencium
ketidakberesan perilaku sebagian penduduk yang selama ini menerima ajaran Haji
Saleh. Tahlil untuk mendoakan orang yang meninggal saja dilakukan dengan cara
tidak benar. “Begitu kuat teriakan dan
rentak yang tahlil ketika megucapkan ‘la ilaha ilallah’ terus-menerus. Sehingga
orang tampak sudah kerasukan” (hlm. 17).
Kegiatan
yang dipandang salah oleh Abdul Salam itu–juga kegiatan-kegiatan keagamaan
lainnya-membuat Abdul Salam bertekad untuk mengubahnya. Diberitahukannya cara
beribadah yang benar kepada orang-orang yang dekat dengannya, baik melalui
pengajian-pengajian maupun melalui khotbah Jumat.Niat baik itu mendapat
halangan dari penguasa desa, bahkan Haji Saleh yang menjadi imam di desa itu,
berniat meracuninya.
Sebagai guru
yang ditempatkan pemerintah di desa itu, Abdul Salam sangat patuh menjalankan
perintah. Orang yang beberapa kali menjadi pengurus Muhammadiyah daerah ini,
tidak jemu tinggal dan mengajar walaupun tekanan demi tekanan dari pihak
penguasa desa. Ia yang merangkap menjadi mubaligh, tidak mau menyerah dengan
keadaan yang bagaimanapun.
Tekanan dari
pihak penguasa ternyata dirasakan juga oleh para penduduk desa. Puncaknya
terjadi ketika surau baru, tempat mereka mengadakan pengajian di bawah
bimbingan Abdul Salam, terbakar. Para penduduk yakin bahwa pelakunya adalah
orang-orang yang selama ini menghalangi pembangunan moral di desa itu.
Ketidaktentraman yang mereka rasakan, membuat mereka sepakat untuk pindah dan membuat
desa baru. Kesempatan Abdul Salam untuk membentuk pola pikir tentang ajaran
agama yang benar pun semakin besar.
Beberapa
waktu kemudian keadaan desa Tinjau Laut dan desa lain yang berada di sekitarnya
agak terganggu dengan datangnya gerombolan PRRI yang melarikan diri ke
desa-desa tersebut. Pihak keamanan RI yang menncium adanya gerombolan PRRI
menempatkan pasukannya di sana. Penduduk dilarang berhubungan dengan penduduk
desa lain untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Setelah para
pemberontak PRRI menyerah, muncul gerombolan Palu Arit dan menyebarkan
pengaruhnya di sana. Nyata bahwa segala cara dilakukan oleh pihak Palu Arit
untuk menyebarkan pahamnya. Abdul Salam yang tidak senang dengan perilaku
antek-antek Palu Arit, mengkritik penguasa desa dan antek-anteknya yang sudah
dimasuki paham komunis, dalam setiap khotbah Jumatnya. Akibatnya, ia dipanggil
pihak penguasa desa, membuat perjanjian yang dengan terpaksa harus
ditandatanginya. Perjanjian itu berisi akan dipenjarajakannya Abdul Salam bila
ia menghina lagi golongan lain dan memperuncing situasi kampung.
Gagalnya
pemberontakan PKI di Jakarta berpengaruh begitu besar ke pelosok desa, termasuk
ke desa Gunung Beringin. Penduduk yang tidak tahan mengalami tekanan dari PKI,
mulai mengadakan pemberontakan sebagi usaha menumpas gerombolan itu. Dalam
rapat yang dihadiri oleh banyak penduduk desa, dicapailah keputusan untuk
menangkap antek-antek Palu Arit. Seorang gembongnya, Johan, mengalami nasib
naas, tewas dipukuli massa yang tidak tahan mengalami perlakuan kaki tangan
anggota partai komunis itu. Dengan ditangkapinya orang-orang Palu Arit,
berakhirlah ketegangan yang melanda penduduk desa. Rasa senasib sepenanggungan
muncul di antara penduduk desa Tinjau Laut dan Gunung Beringin. Penduduk akhirnya
bersatu untuk saling membantu demi pembangunan desa, dan itu dicapai dalam
suasana damai di tempat pelayatan Haji Saleh yang meninggal diterkam harimau.
“Pukul setengah tiga rombongan pelayat pulanglah. Orang-orang tua dan
induk-induk mengantar mereka sampai di ujung kampung, bersalaman dengan mesra”
(hlm. 179).
“Berhimpunnya
kembali kedua penduduk kampung lama dan baru, selain dinyatakan dengan jalan
membuka sawah bersama di Tinjau Laut, juga dalam ikatan kekeluargaan.Ialah
dengan diterimanya saran oleh Aisyah untuk dikawinkan dengan Piko, anak Sutan
Parlindungan. Istri Piko meninggal beberapa lama setelah ia ditahan di Air
Bayang, meninggalkan dua orang yang masih kecil-kecil. Aisah bilang ia bersedia
menampung kedua anak tirinya” (hlm. 181).
***
Novel Pergolakan karya Wildan Yatim ini adalah
pemenang hadiah ketiga Sayembara Mengarang Roman yang diselenggarakan oleh
Panitia Tahun Buku Internasional 1972, DKI Jakarta. Dua tahun kemnudian baru
diterbitkan sebagai buku oleh penerbit Pustaka Jaya. Setahun kemudian (1975)
novel ini dinyatakan sebagai peraih Hadiah Yayasan Buku Utama Depdikbud.
Ceritanya
sendiri berkisar pada kegelisahan penduduk desa di pinggiran hutan Sumatera
akibat pecah pemberontakan PRRI/Permesta. Belum sembuh akibat pemberontakan itu,
muncul pula teror dan intrik yang dijalankan para anggota PKI. Maka bibit
perpecahan yang memang sejak munculnya Guru Salam sudah mulai tampak, terutama
oleh sikap yang diperlihatkan oleh para ulama ortodoks yang merasa terguncang
kemapanannya, mencapai titik pergolakannya setelah golongan PKI memanfaatkan
situasi kacau tersebut. Setelah pecah pemberontakan PKI dan para anggotanya
berhasil diamankan, mulailah penduduk desa itu merasakan kedamaian. Pemikiran
Guru Salam yang berusaha mengembalikan ajaran Islam yang murni, tanpa dibumbui
oleh kepercayaan nenek moyang dan takhayul, juga mulai mendapat tempat di hati
masyarakat desa itu. Hanya dalam keadaan damai seperti itulah-tanpa perlu
dirusuhi oleh kegiatan politik-penduduk desa dapat menggarap sawahnya dengan
tenang.
Belum banyak
studi terhadap novel ini walaupun sesungguhnya sangat menarik jika ditelaah
secara sosiologis. Bagaimanapun, masih jarang novel Indonesia yang mengangkat
latar peristiwa pemberontakan PPRI/Permesta dan PKI yang terjadi di Sumatera.
Komentar
Posting Komentar