Ringkasan Novel Kemelut Hidup

Pengarang : Ramadhan K.H. Penerbit : Pustaka Jaya Tahun : 1977 Abdurrahman adalah seorang kepala kantor pada instansi perburuhan. Jabatan itu seharusnya membuat Abdurrahman bisa hidup enak, tidak terlalu dipusingkan oleh masalah ekonomi, yang biasa menjadi masalah pokok bagi orang yang lebih rendah jabatannya daripada dia; tetapi kenyataannya lain. Perekonomian keluarga Abdurrahman morat-marit. Hanya untuk memenuhi kebutuhan makan dan minum sehari-hari saja, keluarga itu harus mengutang ke sana kemari. Hal itulah yang menyebabkan Susana, putri Abdurrahman, mengambil jalan pintas. Susana tak tahan dengan kehidupan seperti itu. Ia ingin seperti tetangga-tetangganya, punya uang, punya mobil, dan bisa main ke mana ia suka. Jalan yang paling cepat untuk mendapatkan semua itu hanya dengan cara memanfaatkan tubuh dan kecantikannya. Keadaaan itulah yang menjadi pangakal sengketa antara Abdurrahman dan Ina, istrinya. Ketidakharmonisan senantiasa mewarnai kehidupan mereka. Saat yang ditakutkan Abdurrahman datang juga. Ia harus melepaskan jabatannya sebagai kepala kantor. Ia pensiun. Itu berarti penghasilannya sebagai pensiunan akan sangat tak berarti. Ia harus mencari pekerjaan baru yang tidak mungkin didapatkannya di kotanya. Ia harus mencari pekerjaan di Jakarta, walaupun terpaksa harus meninggalkan anak dan istrinya di Bandung. Dengan mengandalkan sarjana ekonomi-nya yang baru saja diraihnya-, ia berkeyakinan akan cepat mendapat pekerjaan. Rupanya Tuhan sedang menguji Abdurrahman. Kemelut demi kemelut senantiasa menimpa diri dan keluarganya. Setelah menjalani pensiun, lelaki itu didera masalah lain. Mariun, pamannya, mengambil alih semua warisan yang bukan haknya. Abdurrahman yang juga ahli waris tidak puas dengan perlakuan yang tidak adil dari adik ibunya itu. Ia berusaha menggugat lewat jalur hukum. Belum beres masalah yang satu, ia harus menerima kenyataan lain; Aminah, putrinya yang ketiga, dipulangkan dari tugas belajarnya di Negeri Belanda. Selain tidak biasa dengan kehidupan di Belanda, rupanya Aminah hamil akibat perbuatan dengan pacarnya sebelum ia pergi ke Belanda. Kenyataan itu dihadapi oleh Abdurrahman dengan tabah. Niatnya semula untuk mencari pekerjaan tetap dilakukannya. Secara kebetulan Asikin-adiknya lain ibu pulang dari Jepang dan menawarkan pekerjaan kepada Abdurrahman mengawasi pembangunan rumah Asikin di Kebayoran Baru. Tentu saja ia tak menolak pekerjaan itu, walaupun menurut pandangan orang-orang ia diperlakukan oleh adik tirinya sebagai bawahan. Hari demi hari berlalu dengan meninggalkan kepahitan. Abdurrahman jadi seperti terbiasa menghadapi kejadian-kejadian yang menimpa dirinya. Ia tetap tabah. Juga seperti ia dipanggil Tini-ibu tirinya-yang memberitahukan bahwa Ina telah serong dengan Sukanda-suami Tini. Tini sendiri sangat kecewa dan tidak menyangka kalau kejdian tersebut menimpa dirinya. Keputusan Tini adalah mutlak; ia menceraikan suaminya. Hal seperti itu sulit bagi Abdurrahman, ia tak bisa mengambil keputusan yang sama dengan Tini. Kejadian tersebut ternyata berbuntut lain. Asikin memecat Abdurrahman daari pekerjaannya. Keputusan ini tidak lepas dari perintah Tini, ibunya. Kehidupan Abdurrahman jadi bertambah menyedihkan. Ia hidup menumpang pada Fulia, adkinya. Dalam ketermenungan Abdurrahman memikirkan hari esok, Susana datang menemuinya. Abdurrahman sangat bahagia bertemu dengan anaknya yang telah berubah sama sekali itu. Dengan kedatangan Susana, ia dapat sedikit melupakan kemalangannya. Abdurrahman bahkan berterima kasih kepada anaknya yang memberinya uang dan mau membiayai pengobatan Aminah yang tak kunjung sembuh. Adanya sedikit uang pemberian Susana mendorong Abdurrahman untuk mengurus masalah warisan yang masih terkatung-katung. Sepulang mengurus warisan di Tasikmalaya, bus yang ditumpangi Abdurrahman menabrak pohon. Hampir semua penumpang bus meninggal. Untung Abdurrahman selamat, meskipun menderita cedera berat. Saat Abdurrahman tergeletak di rumah sakit, datang berita yang menggembirakan bahwa ia mendapat panggilan kerja di Cibinong. Setelah sembuh, dengan optimisme Abdurrahman datang ke Cibinong. Ia sungguh kecewa begitu mengetahui jabatannya telah diduduki orang lain. Ia bertambah sedih sewaktu mendengar penjelasan dari bagian personalia bahwa ia tidak dipilih karena ada yang mengabarkan bahwa ia meniggal dalam kecelakaan yang menimpanya. Orang yang mengabarkan berita bohong itu adalah orang yang kini menduduki jabatan yang seharusnya ditempati Abdurrahman, yaitu Suhendar, temannya sendiri. Abdurrahman akhirnya pulang dengan tangan hampa, dengan sejuta harapan yang tak terpenuhi. Namun, keluguannya, sikapnya yang gampang percaya, serta rasa optimisme tak mampu menyurutkan tekadnya untuk mendapat pekerjaan. “Saya mesti dapatkan pekerjaan. Mesti, tekadnya. Besok saya akan turun lagi ke jalan untuk mencari pekerjaan. Ia tetap tawakal. Mengapa nasibnya begini tidak dipikirkannya” (hlm. 139). Semula naskah novel ini berjudul Tawakal yang berhasil memenangkan hadiah Sayembara Mengarang Roman yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta tahun 1975. Tahun 1977 diterbitkan dengan judul Kemelut Hidup. Dilihat dari isi ceritanya, kedua judul itu memang mewakili; kemelut yang berturut-turut menimpa diri Abdurrahman, sama sekali tidak membuatnya putus asa. Abdurrahman yang jujur dan polos itu tetap tawakal, tidak menyerah pada keadaan yang terus dirudung kemelut. Tahun 1978, sutrada Asrul Sani mengangkat novel ini ke layar perak dengan judul yang sama. Studi terhadap novel ini pernah dilakukan oleh Metta Rosiati dan Haryono (keduanya dari FS Undip), serta Nasrudin dan Pranoto Hartono (keduanya dari FS UGM).
Rating Artikel : 5 Jumlah Voting : 99 Orang

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makan Batagor Minumnya Sprite

Contoh RPP Siklus 1 pada mata kuliah PKP di UT

Resep Roti Sisir Kentang